Istiqamah adalah sifat utama orang-orang yang dicintai Allah. Inilah yang diberikan Allah kepada Gus Dur istiqamah mengajar santri, meskipun kegiatannya sangat padat (nasional dan internasional).
Bismillaahir rahmaanir rahiim
Sejak September 2003, Gus Dur membuka pengajian kitab kuning di Masjid Al-Munawwaroh Kompleks Yayasan Wahid Hasyim, Jl. Warung Silah No. 10 Jakarta. Sejak itu, pengajian yang kemudian menjadi embrio kegiatan Pondok Pesantren Ciganjur hingga kini terus berlangsung dengan konsisten sampai akhir masa hidup Gus Dur (tahun 2009).
Pengajian yang semula hanya berlangsung pada bulan Ramadlan itu, kemudian berkembang menjadi pengajian bulanan dan mingguan, dan terus berlangsung dengan ajek dan istiqamah dalam asuhan Gus Dur, meski jadwal Gus Dur sendiri sangat padat.
Seorang santri senior mengenang, “Beberapa santri bahkan tetap melanjutkan tidurnya, meski Gus Dur menyatakan akan mengisi pengajian suatu pagi. Gus Dur tidak pernah marah meskipun beberapa santrinya pemalas”.
Kelak ketika kemudian Gus Dur wafat, para santri membuat buku pernyataan. Yunus yang merasa dirinya termasuk sebagai santri pemalas ini membuat tulisan dengan judul “Menebus Dosa Sabtu Pagi”. Tulisan ini merupakan refleksi dan apresiasi atas kesabaran Gus Dur dan keistiqamahan Gus Dur dalam menjaga nilai-nilai Tradisi Pesantren (yaitu mengaji kitab kuning).
Hingga akhir hayat, Gus Dur selalu menepati jadwalnya bersama santri, Sabtu pagi dalam bentuk mengaji kitab. Karena dalam tradisi pesantren, yang terpenting adalah kebersamaan seoran guru dengan muridnya. Seperti kebarsamaan Rasulullah bersama para sahabat. Baik dalam bentuk mengaji (Nabi mengajari para sahabat), musyawarah, bekerja dan sebagainya.
Kebersamaan ini akan memberi faidah “menularkan” ruhaniyah guru kepada para muridnya. Dan Gus Dur mengemas kebersamaann dengan santri ini dalam bentuk pengajian Kitab Kuning, sebagai tradisi khas pesantre. Karena Gus Dur memang berasal dari keluarga pesantren, bahkan beliau adalah cucu Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari.
“Di tengah berbagai kesibukan tingkat tinggi, Gus Dur tetap menjaga tradisi dan identitas kearifan tradisionalnya. Beliau tetap mengaji dengan menggunakan baju batik rapi, meski beberapa santrinya belum mandi saat mengaji” tutur Icank, santri lain sembari berkelakar. Selagi Gus Dur ada di ndalem (rumah), selelah apapun, meski baru pulang dini hari menjelang subuh, Gus Dur tetap menepati jadwal mengajinya.
Hal semacam ini, dinilai oleh para ulama, lebih baik daripada seribu keajaiban para wali. Muncul satu ungkapan, “Istiqamah khayrun min alfi karaamah“, istiqamah dalam ibadah itu lebih unggul daripada seribu macam karamah (kemampuan luar biasa dan ajaib yang diberikan Allah kepada para wali/ orang shaleh)
Ichank menjelaskan, salah satu tanda kewalian (orang-orang yang dicintai Allah) adalah keimanan yang kuat untuk istiqamah dalam kebaikan. Para wali tidak memiliki kegundahan atas hal-hal yang menimpanya dalam urusan dunia, dan tidak bersedih atas musibah-musibah (cobaan) yang dialaminya. ” Sehingga meski keadaan sangat berat, mereka tetap istiqamah dalam amal shaleh. Begitu pun Gus Dur, selain beliau istiqamah, beliau selalu bisa melontarkan humor, meskipun kondisi sedang susah” tandasnya.
Baca salah satu kisah Humor Gus Dur di Luar Negeri : Humor Gus Dur : Tolong Semua Ketawa
Alhamdulillaahi robbil ‘alami
Sumber : Buku Gus Dur Wali (Achmad Mukafi Niam & Syaifullah Amin)
Kertanegara, MQNaswa
Selasa, 7 Desember 2021
Wawan St