Sebuah kisah tentang Sayidah Zainab radhiyallahu ‘anha
Bismillaahir rahmaanir rahiim
Sayidah Zainab adalah cucu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Ia putri sulung pasangan mulia Sayidina ‘Ali dan Sayidatuna Fathimah Radhiyallahu ‘Anhuma. Ia adalah kakak dari pemimpin para pemuda syurga, Sayidina Hasan dan Husein Radhiyallahu ‘anhuma. Sayidah Zainab lahir pada tanggal 5 Jumadil Awwal tahun 5 (atau 6 hijriyah) di kota Madinah Munawwarah (Kota Rasul yang Bercahaya).
Zainab adalah nama yang diberikan langsung oleh manusia agung Nabi Muhammad , yang berarti pohon yang indah dan harum semerbak baunya. Adapula yang mengatakan Zainab artinya Zain – ab(iha). Zain artinya perhiasan dan ab / abiha artinya ayah. Bahasa Arab memang biasa memotong suatu kata, diambil suku kata depannya.
Memang sebagaimana Siti Fathimah yang bergelar Ummu Abiiha (Ibu bagi ayahnya) karena demikian berbakti dan sayangnya Sayidah Fathimah kepada Rasul, sampai mendapat gelar “seperti” ibu bagi ayahnya sendiri. Sayidah Zainab pun mendapat gelar Zain Abiiha (perhiasan bagi ayahnya) karena kelebihan, kecerdasan dan ketakwaan beliau radhiyallahu ‘Anha.
Sayidah Zainab dimakamkan di negeri Piramid, Mesir. Kita mengingat suatu ayat bahwa tidaklah orang yang mati di jalan Allah itu dikatakan mati, mereka tetap hidup dan mendapatkan rizki dari Allah ta’ala. QS. Ali ‘Imran/3 : 169 :
وَلَا تحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ قُتِلُوْا فِى سَبِيْلِ اللهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُوْنَ
Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki.
Demikianlah Sayidah Zainab cucu baginda Nabi yang dikenal sebagai seorang waliyatullah (kekasih Allah). Meski telah wafat sejak 15 Rajab 63 Hijriyah, hampir 1400 tahun yang lalu, tetapi tetap diberi rizki oleh Allah yang mengalir kepada manusia yang masih hiudup. Seorang mahasiswa.
Kisah ini diceritakan oleh mahasiswa itu sendiri, yang dikemudian hari menjadi seorang ulama besar, Syaikh Mutawalli Sya’rawi.
Sa’id Abul ‘Ainain yang membukukan pengalaman pengalaman Syaikh Asy- Sya’rawi menuturkan :
“Apakah saya pernah menceritakan padamu tentang kisah saya bersama Sayidah Zainab?” tanya Syaikh
“Saya belum pernah mendengarnya Syaikh” kata saya
Syaikh pun bercerita.
Ketika masih menjadi mahasiswa Syaikh Mutawalli Sya’rawi tinggal di dekat masjid Sayidah Zainab. Karena di situlah letak peristirahatan (makam) Sayidah Zainab. Beliau senantiasa shalat di masjid itu dan tidak lupa berziarah kepada cucunda mulia Rasulullah Sh.
Saat itu Sya’rawi muda adalah seorang pelajar yang akan mengikuti ujian untuk mendapatkan ijazah Aliyah. Namun apa hendak di kata, ketika menjelang masa ujian Asy-Sya’rawi jatuh sakit. Sakit yang cukup berat sehingga ia tertinggal untuk mengikuti ujian. Bahkan hingga ujian susulan pun tidak bisa beliau ikuti. Beliau merasa sangat menyesal luar biasa, karena beliau tergolong murid yang cerdas, berprestasi, dan menguasai ilmu. Untuk menghadapi ujian pun beliau telah melakukan persiapan yang khusus, belajar yang menghafal yang berlipat lipat.
Maka Asy-Sya’rawi muda pun merasa sangat kesal. Ketika beliau shalat di masjid Sayidah Zainab dan berziara. Beliau berkata kepada isteri dari Sayidina Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib (Sayidah Zainab) ini :
“Kami tinggal dekat denganmu, kami adalah tetanggamu. Kami senantiasa shalat, bermunajat kepada Allah, di tempatmu bahkan kami pun selalu mengunjungi dan mendoakanmu. Sekarang kami tertinggal ujian. Harus menunggu satu tahun untuk mengulang”.
Mungkin beliau merasa kerja keras, setiap hari yang telah lakukan tahun ini sia sia. Do’a di masjid Sayidah Zainab, seorang wanita ahli bait Rasul, penjaga sayidina Hasan dan Husein pun, seolah percuma. Mungkin memang demikian gelora anak muda yang kecewa.
Karena saking kesalnya, Syaikh Mutawalli Sya’rawi tidak mau lagi shalat di Masjidn Sayidah Zainab. Beliau shalat, membaca Al-Qur’an dan munajat di mushalla Al-Habibab. Hingga beberapa waktu berlalu. Tibalah pada suatu malam yang bertepatan dengan Maulid (kelahiran) Sayidah Zainab.
Datanglah Syaikh ‘Arif Billah Muhammad Abdul Fattah, dosen fakultas Syari’ah. Syaikh sangat terkejut dengan kunjungan yang tiba tiba itu. Beliau berkata,
“Bangunlah Nak ! Bangunlah dan kenakan pakaianmu”
Asy-Sya’rawi bertanya, “Ada apa Syaikh? Kita mau kemana”
“Saya bilang bangunlah, segera. Kenakan pakaianmu (yang baik)”
Asy-Sya’rawi tetap penasaran, sambil mengenakan pakain ia bertanya,”Baiklah Syaikh, tapi kemana kita akan pergi?”
“Saya akan mendamaikanmu dengan Sayidah Zainab”
Asy-Sya’rawi sangat terkejut. Bagaimana mungkin Syaikh Abdul Fattah mengetahui “persoalan” saya dengan Sayidah Zainab. Padahal tidak pernah ia membicarakannya kepada siapa pun, kecuali “berbicara” kepada Sayidah Zainab.
Kemudian mereka berdua mendatangi masjid Sayidah Zainab, shalat dua rakaat dan mengunjungi Sayidah Zainab, isteri Sayidina ‘Abdullah bin Ja’far, seorang pejuang yang gugur dalam perang mu’tah dengan gelar Dzul Janahain (Pemilik dua sayap).
Mereka berdua duduk membaca Al-Qur’an, berdzikir danmemanjatkan do’a kepada Allah ta’ala. Memohon ampunan, memohon tambahan kemuliaan untuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan keluarganya, ahli baitnya yang suci dan mulia. Sejak malam hingga fajar (shubuh).
Kemudian mereka berdua kembali ke rumah Asy-Sya’rawi untuk beristirahat. Syaikh Abdul Fattah beristirahat di ranjang yang biasa digunakan Asy-Sya’rawi, sedangkan beliau sendiri tidur di shafa. Demikian karena beliau sangat memuliakan Syaikh Muhammad Abdul Fattah ini.
Tidak lama kemudian terdengarlah suara ketukan pintu. Suara itu membangunkan mereka berdua. Asy-Sya’rawi merasa agak kesal, karena baru saja tidur sebentar. Terlebih lagi dalam tidur itu ia sedang bermimpi sangat indah.
“Siapa yang datang di waktu pagi begini” pikir Asy-syarawi sambil bangun dan membukakan pintu.
Di depan pintu ternyata telah berdiri ayah beliau yang datang dari kampung. Sambil menyambut,. Menyalaminya, Asy-Sya’rawi berkata, “Ayah membangunkan saya dari mimpi indah”.
“Mimpi apa anakku”
“Mimpi berjumpa dengan Sayidah Zainab”
Ayah Asy-Sya’rawi terkejut, dan ia tampak memberi perhatian yang besar, ia bahkan memegang pundak beliau seraya berkata, “Engkau melihatnya Nak? Wajahnya terbuka atau menggunakan penutup?”
“Terbuka” Sehingga Asy-Sya’rawi melihat wajah beliau
Sang ayahpun memeluk Asy-Sya’rawi dengan haru dan bahagia, tapi Asy-Sya’rawi tetap belum memahami apa maksud pertanyaan ayahnya.
“Wajah Sayidah Zainab yang terbuka itu apa maksudnya ayah?”
“Artinya, kita adalah termasuk keluarganya anakku. Apa yang dikatakannya padamu?”
“Mari kita bicara di lantai atas” Asy-Sya’rawi mengajak ayahnya ke lantai atas agar tidak membangunkan Syaikh Abdul Fattah yang sedang beristirahat.
Ketika mereka berdua telah duduk di lantai atas, ternyata tidak lama kemudian Syaikh Abdul Fattah menyusul dan langsung bertanya, “Ceritakanlah kepada saya. Apa yang dikatakan Sayidah Zainab kepadamu?”
“Ia mengatakan, engkau kesal padaku? Jika engkau kesal karena kehilangan satu tahun, kami akan menggantinya untukmu lima tahun”.
“Apa artinya mengganti lima tahun?” Tanya Syaikh Abdul Fattah.
“Wallahu A’lam” kata Asy-Sya’rawi.
Ternyata, di kemudian hari, beberapa tahun kemudian, setelah Asy-Sya’rawi lulus dari Al-Azhar dan bekerja. Asy-sya’rawi mendapat semacam kenaikan pangkat/ golongan jabatan yang biasanya itu memerlukan waktu hingga lima tahun bekerja, barulah mendapat kenaikan seperti itu.
Syaikh Mutawalli Sya’rawi teringat perkataan Sayidah Zainab, “Kami akan menggantinya untukmu lima tahun”. Saat itu juga beliau meminta izin, untuk pergi ke Kairo, mengunjungi Sayidah Zainab, radhiyallahu ‘Anha.
Shalawat, rahmat keagungan dari Allah ta’ala, dan kesejahteraan dari-Nya, semoga selalu tercurah kepada baginda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, para ahli bait beliau, para sahabat yang mulia, dan semoga kita tergolong dalam umat yang mendapat syafaat, dan meski sangat tidak pantas, kita selalu memohon, dimasukkan menjadi keluarga beliau.
Wallahu A’lam
Alhamdulillahi robbil ‘aalamiin
Kertanegara, Rabu Pahing, 28 November 2018 M/ 20 Rabi’ul Awwal 1440 H
Wawan Setiawan
Sumber : Majalah Al-Kisah No. 11/Tahun XI/2013 dengan perubahan bahasa yang tidak merubah isi cerita.