Bismillaahir rahmaanir rahiim
وَكَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَكْمَلَ النَّاسِ خَلْقًا وَخُلُقًا
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam adalah manusia yang paling sempurna penciptaan dan akhlaknya.
Demikian penggubah Al-Barzanji memuji Nabi. Pujian itu memang benar adanya. Bahkan pujian Syaikh Ja’far Al-Barzanji, yang seorang ulama besar sekaligus mufti (pemegang hak memberi fatwa) dalam madzhab Syafi’i) itu hanya setetes saja dari samudera tak bertepi pujian dari Allah ‘Azza Wajalla untuk hambaNya ini.
Allah memilihnya menjadi manusia paling istimewa. Keseluruhan diri Rasulullah baik fisik, akal, jiwa hingga ruhaninya adalah indah semata. Di antara keindahan beliau adalah wajah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
Imam Tirmidzi yang menulis satu kitab khusus membahas sosok Nabi Muhammad shallallahu ‘Alaihi Wasallam, pada bab awal menggambarkan wajah Nabi dengan sebuah hadits yang beliau nukil :
أَكَانَ وَجْهُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلَ السَّيْفِ ؟ قَالَ لَا, بَلْ مِثْلَ الْقَمَرِ
Apakah wajah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Itu seperti pedang? Sahabat Al-Barra menjawab : Tidak, wajah beliau bagaikan rembulan.
Bahkan pada hadits sebelumnya dalam kitab tersebut, disebutkan :
“Aku melihat Rasulllah di suatu malam bulan purnama, waktu itu beliau memakai pakaian merah. Aku berganti ganti memandang antara beliau dengan rembulan, ternyata beliau lebih indah daripada rembulan”
Rembulan adalah gambaran keindahan, cahaya yang menentramkan dan kelembutan. Gambaran mengenai cahaya di wajah Rasulullah ini sangat wajar. Allah sendiri yang menyifati beliau dengan sifat cahaya.Perhatikanlah QS. Al-Maidah/5 : 15 : Allah berfirman :
قَدْ جَاءَكُمْ مِنَ اللهِ نُوْرٌ وَكِتَابٌ مُّبِيْنٌ
“Sungguh telah datang kepadamu, dari Allah, “cahaya” dan kitab yang terang benderang”
Para mufassir sepakat, bahwa yang dimaksud dengan “Nuur : cahaya” pada ayat itu adalah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.[1]
Jika kita memerhatikan ayat ayat di atas sekali lagi, kita menemukan bahwa, ketika menyebutkan kehadiran Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, Allah ta’ala menuturkan dalam sifatnya yang mulia. Sebagai cahaya yang akan menerangi hati manusia. Bahkan Allah menyebut, hadirnya cahaya itu “dari Allah” ta’ala.
Apakah cahaya tersebut bersifat bathin yakni menerangi ruhani manusia? Tentu saja. Berapa ribu tahun telah berlalu, tidak ada habisnya lahir generasi demi generasi yang batin mereka bercahaya, karena berkah limpahan cahaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Tapi, bukan hanya itu, cahaya itu pun terpancar di wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ini tidak lah aneh, karena sebelumnya, ayah beliau, Sayidina Abdullah bin Abdul Muthalib pun, memiliki keistimewaan yang serupa. Di wajah beliau seperti ada cahaya yang berpendar memancar, sehingga ketika memandangnya muncullah perasaan suka, takjub, haibah (berwibawa) dan ketenangan.
Sampai sampai, banyak wanita Makkah yang berbaris di pinggir jalan yang akan dilalui oleh ayahanda Nabi. Beliau dijuluki Misbahul Harom (pelita-nya tanah harom).
Mengenai hal ini, baca lebih lengkap di https://www.mqnaswa.id/pertemuan-ayah-dan-ibunda-nabi-muhammad-shallallahu-alaihi-wa-sallam/
Cahaya di wajah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam ini semakin nyata jika kita membaca sebuah kisah yang diriwayatkan dari Ummul Mukminin Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, beliau berkata :
“Suatu malam, aku duduk menjahit baju untuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Jarum yang aku gunakan itu jatuh. Aku mencarinya sampai pelita yang kugunakan mati. Sehingga ruangan menjadi gelap. Aku mencari cari jarum itu tapi tidak bisa menemukannya.
Tiba tiba masuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dari pintu, dengan wajah yang bercahaya nan indah, hingga rumah menjadi terang di tengah gelapnya malam, karena cahaya wajahnya. Aku pun melihat jarum itu dan mengambilnya dari tanah sambil tertawa.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya, “Mengapa engkau tertawa?”
Aku menjawab, “Betapa bercahaya wajamu wahai Rasulullah”.
Rasulullah pun menangis, hingga aku heran dan bertanya, “Mengapa engkau menangis Ya Rasulallah?”
Beliau menjawab, “Aku menangis untuk orang yang diharamkan dari wajahku di hari kiamat”
Aku bertanya, “Wahai Rasulullah apakah ada orang yang diharamkan melihat wajahmu, atau tidak bisa melihatmu”
“Ya. Orang orang yang Allah tidak mau melihat mereka. Mereka tidak bisa melihatku. Mereka adalah orang-orang bakhil”.
Aku bertanya, “Wahai Kekasihku, siapa orang yang bakhil itu?”
“Mereka adalah orang yang disebut namaku tapi tidak bershalawat atasku”
أَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَ بَارِكَ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى أٰلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
Allaahumma sholli wasallim wabarik ‘alaa Sayidina Muhammad wa ‘ala ali sayidina Muhammad.
Dalam kisah di atas kita mendapati bahwa wajah Rasulullah ternyata benar benar bercahaya. Ini adalah salah satu mukjizat yang diberikan Allah ta’ala untuk hamba-Nya yang paling sempurna penciptaannya sekaligus paling sempurna akhlaknya.
Selain dianugerahi mukjizat wajah yang bercahaya, memang dalam kehidupan sehari hari wajah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memang dikenal sebagai wajah yang paling ramah, selalu menentramkan untuk dilihat. Bahkan, dengan memandangi wajah Rasulullah, kegelisahan yang dialami para sahabat menjadi sirna.
Catatan :
- Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menginginkan kita banyak bershalawat, bukan karena Rasul membutuhkannya. Tapi agar Allah melimpahkan rahmat sehingga kita bisa bertemu dan memandang wajahnya.
- Orang yang banyak bershalawat akan mendapat keberkahan berupa wajah yang bercahaya karena mendapat keberkahan dari cahaya wajah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
- Cahaya wajah Rasulullah itu selain merupakan anugerah mukjizat dari Allah ta’ala, juga karena pancaran cahaya hati yang memancar sampai dengan wajah beliau, sehingga hanya dengan melihat pun tenteramlah hati para sahabat. Kita sebagai umatnya dituntut memiliki cahaya hati yang memancar dalam akhlak terpuji, sehingga menentramkan orang yang berada di sekeliling kita.
Wallahu A’lam
Alhamdu lillaahi robbil ‘alamin
Kertanegara, Rabu Legi, 22 November 2017 M / 3 Rabi’ul Awwal 1439 H
Wawan Setiawan
Syaikh Ja’bar Al-Barzanji, Maulid Barzanji
Syaikh Nawawi Banten, Maulid Ibriz hlm. 82-83
Syaikh Nawawi Banten, Syarah Barzanji
[1] Tafsir Ibnu Abbas, hlm. 119. Tafsir Ath-Thabari Juz 3 : 57 dll.