Tawassul

5 min read

Tawassul

Bismillahir rahmanir rahim

Pertanyaan :

Benarkah ada pembagian Tawassul Syar’i dan Tawassul Bid’ah?

Jawaban :

Tawassul memiliki arti dasar “mendekat”, sementara Wasilah adalah media perantara untuk mencapai tujuan. Tawassul yang dimaksud di sini adalah me dekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan menggunakan perantara lain, baik nama-nama Allah (Asmaul Husna), sifat-sifat Allah, amal shaleh, atau melalui makhkuk Allah, baik dengan doanya atau kedudukannya yang mulia di sisi Allah. (Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah)

Tawassul memiliki empat macam, tiga diantaranya disepakati kebolehannya oleh para ulama, sementara yang satu macam masih diperselisihkan, yakni ada ulama yang memperbolehkannya dan ada pula yang melarang.

Tiga macam Tawassul yang disepakati kebolehannya adalah (1) Asmaul Husna, (2) Dengan amal shaleh, (3) Dengan orang shaleh yang masih hidup. Sedangkan yang mereka sebut Tawassul bid’ah adalah (4) Tawassul dengan orang yang sudah wafat. Namun bagi mayoritas ulama Tawassul yang keempat ini tetap diperbolehkan dan bukan syirik atau bid’ah, karena memiliki dalil yang akan kita uraikan berikutnya

1. Tawassul dengan Asmaul Husna

ولله الأسماء الحسنى فادعوه بها

“Hanya milik Allah asmaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna itu.” (QS. Al-A’raf : 180)

قل اعوا الله أو ادعوا الرحمن أيا ما تدعوا فله الأسماء الحسنى

“Katakanlah: “Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai Asmaul Husna (nama-nama yang terbaik)”. (QS. Al-Isra : 110)

Kedua ayat ini menganjurkan agar berdoa kepada Allah melalui Asmaul Husna.

Oleh karenanya, amaliyah yang sering dilakukan oleh warga Nahdliyin adalah berdoa dengan Asmaul Husna, seperti istighotsah, Tahlil, majlis dzikir, dan lain sebagainya demi melaksanakan anjuran dua ayat di atas.

2. Tawassul dengan Amal Sholeh

Tawassul ini berdasarkah hadits shahih yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim yang mengisahkan tentang tiga orang yang terperangkap dalam sebuah gua. Lalu mereka bertawassul dengan amal shalih mereka masing-masing. Orang yang pertama bertawassul dengan amal shalihnya yang berupa amal bakti kepada kedua orang tuanya. Orang yang kedua bertawassul dengan rasa takutnya kepada Allah Swt saat membatalkan perbuatan zina kepada keponakannya. Sedangkan orang yang ketiga bertawassul dengan menjaga dan memberikan hak buruh yang ada padanya. Akhirnya Allah Ta’ala membukakan pintu gua itu dari batu besar yang menghalangi mereka, yang pada akhirnya mereka bertiga bisa keluar dari dalam gua dengan selamat.

3. Tawassul dengan Orang yang Masih Hidup

A. Sahabat Umar yang bertawassul dengan Abbas

عن أنس أن عمر بن الخطاب رضي الله عنه كان إذاقحطوا استسقى بالعباس بن عبد المطلب فقال اللهم إنا كنا نتوسل إليك بنبينا فتسقينا وإنا نتوسل إليك بعم نبينا فاسقنا، قال: فيسقون.

“Diriwayatkan dari Anas bahwa ketika umat Islam berada di musim kering, maka Umar bin Khattab meminta hujan kepada Allah dengan perantara Abbas bin Abdul Muthallib (Paman Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam). Umar berdoa: “Ya Allah, sesungguhnya kami bertawassul kepada-Mu dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kami, kemudian Engkau beri hujan pada kami. Dan kami bertawassul kepada-Mu dengan paman Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kami, maka berilah hujan pada kami”. Anas berkata: “Kemudian mereka diberi hujan.” (HR. Bukhari)

Setelah itu Sayidina Abbas berdoa:

أللهم إنه لم ينزل بلاء إلا بذنب ولم يكشف إلا بتوبة وقد توجه القوم بي إليك لمكانى من نبيك وهذه أيدينا إليك بالذنوب ونوا صينا إليك بالتوبة فاسقنا الغيث فأرخت السماء مثل الجبال حتى أخصبت الأرض وعاش الناس.

“Ya Allah, Sungguh tidak ada bala’ yang turun kecuali karena dosa, dan tak bisa dihilangkan kecuali dengan taubat. Mereka menghadap kepada-Mu dengan (perantara) saya, karena kedudukan saya (sebagai paman) dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam-Mu. Inilah tangan kami menengadah kepada-Mu dengan dosa, dan kepala kami dengan taubat. Maka berilah hujan kepada kami.” Kemudian awan menggumpal di langit seperti gunung, hingga tanah menjadi subur dan manusia terus hidup.” ¹¹²)

Ibnu Hajar berkata:

ويستفاد من قصة العباس إستحباب الإستشفاع بأهل الخير والصلاح وأهل بيت النبوة وفيه فضل العباس وفضل عمر لتواضعه للعباس ومعرفته بحقه.

“Dapat diambil kesimpulan dari kisah Abbas ini tentang anjuran meminta pertolongan (bertawassul) dengan orang-orang yang memiliki keutamaan dan kebaikan, juga keluarga Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Dalam kisah tersebut juga menjelaskan tentang keutamaan Abbas dan Umar, sebab Umar tawadlu’ dan Umar mengetahui kedudukan Abbas.” ¹¹³)

Bujairimi Khatib berkata:

قوله: ( وإنا نتوسل إلخ ) وحكمة توسله به دون النبي صلى الله عليه وسلم مع أنه أعظم وسيلة حيا وميتا، الإشارة إلى رفعة قرابة رسول الله صلى الله عليه وسلم وقربهم من الله.

“Himah di balik tawassul Umar dengan Abbas, tidak dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam , padahal Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah wasilah yang paling agung, baik saat beliau masih hiduo atau sudah wafat, hal yang demikian adalah sebuah isyarat bahwa kerabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memiliki kedudukan yang tinggi pula di sisi Allah.” ¹¹⁴)

B. Muawiyah dan Dlahhak bertawassul dengan Yazid bin Aswad

عن سليم بن عامر الخبائري أن السماء قحطت فخرج معاوية أبي سفيان وأهل دمشق يستسقون فلما قعد معاوية على المنبر قال: أين يزيد بن الأسود الجرشي؟ قال: فناداه الناس فأقبل يتخطى فأمره معاوية فصعد المنبر فقعد عند رجليه فقال معاوية: أللهم إنا نستشفع إليك بيزيد بن الأسود الجرشي يا يزيد ارفع يديك إلى الله فرفع يزيد يديه ورفع الناس أيديهم فما كان أوشك أن ثارت سحابة في المغرب وهبت لها ريح فسقينا حتى كاد الناس لت يصلون إلى منازلهم

“Diriwayatkan dari Jalil Salim bin Amir al-Habairi bahwa langit tidak turun hujan, kemudian Muawiyah bin Abi Sufyan dan penduduk Damaskus melaksanakan shalat istisqa’ (meminta hujan). Ketik Muawiyah duduk di atas mimbar, ia berkata: “Di mana Yazid bin Aswad al-Harasyi?”. Lalu orang-orang memanggilnya dan dia datang dengan melewati sekerumunan orang. Muawiyah menyuruhnya untuk naik ke atas mimbar dan duduk di dekat kaki Muawiyah. Selanjutnya Muawiyah berdoa: “Ya Allah, sesungguhnya kami meminta pertolongan kepada-Mu hari ini dengan perantara orang yang terbaik dan paling utama di antara kami. Ya Allah, sesungguhnya kami meminta pertolongan kepada-Mu dengan perantara Yazid bin Aswad al-Harasyi”. (Muawiyah lalu berkata kepada Yazid:) “Wahai Yazid angkat kedua tanganmu kepada Allah”. Yazid mengangkat kedua tangannya disertai dengan semua orang yang hadir, setelah iti awan tebal berhembus dari barat disertai angin kemudian menghujani kami, hingga orang-orang tidak bisa sampai ke rumah mereka masing-masing.” (HR. Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh al-Dimasyqi dengan sanad yang sahih)

وروى ابن عساكر أيضا بسند صحيح أن الضحاك بن قيس خرج يستسقي بالناس فقال ليزيد بن الأسود أيضا: قم يا بكاء ( زاد في رواية فما دعا إلا ثلاثا حتى أمطروا مطرا كادوا يغرقون منه )

“Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asakir pula dengan sanan yang sahih, bahwa Dhahhak bin Qais melakukan shalat istisqa’ bersama orang-orang, kemudian ia berkata kepada Yazid bin Aswad: “Berdirilah, wahai orang yang sering menangis”. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa setelah berdoa tiga kali, hujan pun turun sangat lebat yang hampir menenggelamkan mereka.”

Dalam kedua riwayat tersebut, baik Muawiyah maupun Dhahhak bin Qais, bertawassul dengan Yazid bin Aswad. Bukan hanya bertawassul melalui doanya tetapi karena Yazid dinilai oleh Muawiyah sebagai orang yang paling baik di antara orang yang lain. Adz-Dzahabi mengatakan:

الجرشي يزيد بن الأسود من سادة التابعين بالشام يسكن بالغوطة بقرية زبدين. أسلم في حياة النبي صلى الله عليه وسلم

“Yazid bin Aswad al-Jurasyi adalah salah seorang penghulu para Tabi’in di Syam (Syria). Ia bertempat tinggal di kebun di daerah Zibdin (Damaskus). Ia masuk Islam semasa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam hidup.” ¹¹⁵)

Ibnu Hibban juga berkata:

يزيد بن الأسود الجرشي من عباد أهل الشام وزهادهم وكان استسقى به الضحاك بن قيس الفهري فسقى (مشاهير علماء الأمصار ١/١١٨)

“Yazid bin Aswad al-Jurasyi adalah salah seorang ahli Ibadah dan zuhud di Syam (Syria). Dhahhak bin Qais Al-Fahri pernah meminta hujan dengan berwasilah Yazid dan akhirnya turun hujan.” ¹¹⁶)

4. Tawassul dengan Orang yang Telah Wafat

Tawassul inilah yang diperselisihkan. Diantara ulama yang memperbolehkan adalah Imam Malik, Imam Ahmad, Imam Nawawi, Imam Subki, al-Qasthalani (ahli hadis), al-Hakim, al-Hafidz al-Baihaqi, al-Hafidz al-Thabrani, al-Hafidz al-Haitsami, Ibnu Hajar al-Haitami, al-Karmani, al-Jazari, Ibnu al-Hajj, al-Sumhudi dan masih banyak lagi ulama lain yang memperbolehkannya. Namun ada pula sebagian kecil golongan umat Islam yang melarang tawassul semacam ini.

عن عثمان بن حنيف رضي الله عنه أَنَّ رَجُلًا كَانَ يَخْتَلِفُ إِلَى عُثْمَان بنِ عَفَّانَ رضي الله عنه فِي حَاجَتِه وَكَان عُثْمَانُ لَا يَلْتَفِتُ إِلَيْهِ وَلَا يَنْظُرُ فِي حاجتهِ فَلَقِيَ ابنَ حُنَيفٍ فَشَكَا ذَلكَ إِلَيهِ فَقالَ لَهُ عُثمان بن حنيف ائْتِ الْمِيضَأَةَ فَتَوَضَّأْ ثُمَّ ائْتِ الْمَسجِدَ فَصَلِّ فِيهِ رَكعَتَينِ اللهم إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَجَّهُ إِلَيكَ بِنَبِيِّنَت نَبِيّ الرَّحْمَةِ يَا مُحَمَّدُ إِنِّي أتَوَجَّهُ بِكَ إِلى رَبّكَ فَيَقْضِي لي حاجَتِي وَتَذْكُرُ حاجَتَكَ حَتَّى أروَحَ مَعَك، فَانْطَلَقَ الرَّجُلُ فَصَنَعَ ما قال له ثُمّ أَتَى بابَ عثمان بن عفان رصي الله عنه فَجَاءَهُ الْبَوَّابُ حتّى أَخَذَ بِيَدِهِ فَأَدْخَلهُ على عثمان بن عفان فَأَجلَسهُ على الطِّنْفِسَةِ فقال حَاجتُكَ فَذَكَرَ حاجَتُهُ وَقضَاهَالَهُ (رواه الطبرانى فى المعجم الكبير والبيهقى في دلائل النبوة)

Berikut ini adalah dalil hadits tentang tawassul dengan orang-orang yang telah wafat: “Diriwayatkan dari Utsman bin Hunaif bahwa ada seorang laki-laki datang kepada (Khalifah) Utsman bin Affan untuk memenuhi hajatnya, namun sayidina Utsman tidak menoleh ke arahnya dan tidak memperhatikan kebutuhannya. Kemudian ia bertemu dengan Utsman bin Hunaif (perawi) dan mengadu kepadanya. Utsman bin Hunaif berkata: Ambillah air wudlu’ kemudian masuklah ke masjid, salatlah dua rakaat dan bacalah: “Ya Allah sesungguhnya aku meminta-Mu dan menghadap kepada-Mu melalui Nabi-Mu yang penuh kasih sayang, wahai Muhammad sesungguhnya aku menghadap kepadamu dan minta Tuhanmu melaluimu agar hajatku dikabukan. Sebutlah apa kebutuhanmu”. Lalu lelaki tadi melakukan apa yang dikatakan oleh Utsman bin Hunaif dan ia memasuki pintu (Khalifah) Utsman bin Affan. Maka para penjaga memegang tangannya dan dibawa masuk ke hadapan Utsman bin Affan dan diletakkan di tempat duduk. Utsman bin Affan berkata: Apa hajatmu? Lelaki tersebut menyampaikan hajatnya, dan Utsman bin Affan memutuskan permasalahannya”. (HR. Al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir dan al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwwah. Doa ini dikutip oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Majmu’ al-Fatawa, I/264, dan al-Tawassul wa al-Wasilah, II/199)

Ulama Ahli hadits al-Hafidz al-Haitsami berkata :

وَقَدْ قال الطبراني عَقِبَهُ وَالْحَدِيثُ صَحِيحٌ بَعدَ ذِكْرِ طُرُقِهِ الَّتِي روى بِها (مجمع الزوائد ومنبع الفوائد ٢/ ٥٦٥)

“Dan sungguh al-Thabrani berkata (setelah al-Thabrani menyebut semua jalur riwayatnya): “Riwayat ini sahih”.(Majma’ al-Zawaid, II/565)

Perawi hadits ini, Utsman bin Hunaif, telah mengajarkan tawassul kepada orang lain setelah Rasulullah Saw wafat. Dan kalaulah tawassul kepada Rasulullah dilarang atau bahkan dihukumi syirik maka tidak mungkin seorang sahabat akan mengajarkan hal-hal yang menyimpang dari ajaran Rasulullah Saw.

Bahkan Utsman bin Hunaif menyaksikan sendiri ketika Rasulullah Saw mengajarkan doa Tawassul diatas sebagaimana dalam riwayat sahih berikut ini :

عن عثمان بن حنيف رضي الله عنه أَنَّ رَجُلًا ضَريرَ الْبَصَرِ أَتَى النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَقالَ رَسُولَ اللهِ عَلِّمْنِي دُعَاءً أدْعُوبِه يَرُدُّ الله عَلَيّ بَصَرِي، فقال له قُلِ اللهم إِنِّي أَسأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيكَ بِنَبِيِّكَ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ يَا مُحَمَّدُ إِنِّ قَدْ تَوَجَّهْتُ بٍكَ إِلة رَبّي أَللهُمَّ شَفِّعهُ فِيَّ وَشَفِّعْنِي فِي نَفْسِب فَدَعَا بِهَذا الدُّعَاءِ فَقَامَ وَقَدْ أَبْصَرَ

“Dari Utsman bin Hunaif: “Suatu hari seorang yang buta datang kepada Rasulullah Saw, ia berkata: “Wahai Rasulullah, ajarkan saya sebuah doa yang akan saya baca agar Allah mengembalikan penglihatan saya”. Rasulullah berkata: “Bacalah doa (Allahumma inni as’aluka wa atawajjahu ilaika bi nabiyyika nabiyyirrahmati Ya Muhammad qad tawajjahtu bika ila Rabbi. Allahumma Syaffi’hu fiyya wa syaffi’ni fi nafsi): “Ya Allah sesungguhnya aku meminta-Mu dan menghadap kepada-Mu melalui Nabi-Mu yang penuh kasih sayang, wahai Muhammad sesungguhnya aku menghadap kepadamu dan minta Tuhanmu melaluimu agar dibukakan mataku, Ya Allah berilah ia syafaat untukku dan berilah aku syafaat. Kemudian ia berdoa dengan doa tersebut, ia berdiri dan telah bisa melihat” (HR. Hakim dan al-Turmudzi)

Alhamdulillahi rabbil ‘aalamin

_______________

¹¹²) Al-Hafidz Ibnu Hajar, Fathul Bari, 2/498
¹¹³) Ibid
¹¹⁴) Hasyiah al-Bujairimi Khatib V/488
¹¹⁵) Al-Hafidz Adz-Dzahabi, Siyar A’lam An-Nubala, 7/148
¹¹⁶) Syaikh Ibnu Hibban, Masyahir Ulama al-Amshar, 1/118

Sumber : Buku yang berjudul “Jawaban Amaliyah & Ibadah yang dituduh Bid’ah, sesat, kafir dan syirik” dan buku yang berjudul “Menjawab Amaliyah & Ibadah yang dituduh bid’ah 2”

Penulis : KH. Ma’ruf Khozin

_______________

Ubaidillah Fadhil Rohman

Mengenai Hukum Puasa di Bulan Rajab baca di : https://www.mqnaswa.id/puasa-bulan-rajab/

Baca juga : https://www.nu.or.id/post/read/127575/guru-marzuki-cipinang-muara-mahaguru-para-ulama-betawi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *