Kisah Sufi tentang ketidak mampuan manusia menguasai sesuap nasi
Bismillaahir rahmaanir rahiim
Pernah ada seorang kaya di Istanbul (Turki) yang berencana untuk menguasai peredaran beras di pasaran selama satu tahun. Ketika para petani telah menyelesaikan panen mereka, ia menyuruh pembantunya untuk berjaga di semua jalan hingga gerbang kota. Di sana mereka akan membeli semua beras dari para petani dan membawanya ke gudang penyimpanan. Tak sebutir beras pun dari para petani yang akan sampai di pasaran. Orang kaya ini berpikir, ia akan meraih keuntungan yang luar biasa dengan memonopoli (menguasai) pasaran beras di seluruh kota.
Setelah semua beras tersimpan, mandor mengajaknya berkeliling untuk memeriksa seluruh gudang berasnya. Di gudang itu, beras beras telah ditumpuk berdasarkan jenis dan kualitasnya. Dari kualitas biasa sampai kualitas unggul. Di bagian yang terakhir, mandor menunjukkan beras yang berasal dari varietas terbaik. Padinya di tanam di tanah yang berkualitas, mendapat cahaya matahari sangat optimal dan pengelolaan yang maksimal. Menghasilkan beras yang bulirnya besar dan baunya wangi. Ketika orang kaya itu melihat beras terakahir ini, ia memutuskan untuk membawa pulang untuk makan malam bersama keluarganya nanti malam.
Ketika makan malam, dihidangkanlah kepadanya sepiring nasi yang nikmat dan mengepulkan asap yang harum. Apalagi berasnya dimasak dengan tambahan mentega dan bumbu bumbu. Dengan tidak sabar ia menyuapkan sesuap besar ke dalam mulutnya, hingga mulutnya penuh dengan nasi. Ia mengunyah sambil memejamkan kepala seperti ingin menikmati betul rasanya. Sayang ketika ia akan menelannya, suapan nasi yang terlalu banyak itu tersangkut di tenggorokannya. Ia tidak bisa menelannya atau memuntahkannya. Keluarganya meggunakan segala cara, tetap saja tidak bisa.
Mereka segera menelpon dokter keluarga. Dokter segera menggunakan beberapa teknik untuk bisa membuat gumpalan nasi itu masuk ke lambung atau keluar lagi dari mulut. Tapi, semua teknik yang dilakukan dokter itu nampaknya sia sia saja. Nasi itu tetap di tengah tengah tenggorokannya. Membuat nafasnya sangat sulit keluar masuk. Nyawanya seperti timbul tenggelam.
Melihat keadaan yang semakin sulit dokter berkata, “Saya kira anda harus menjalani prosedur tracheotomy. Operasi tenggorokan. Leher anda akan dibelah, dibuat lubang menembus tenggorokan, hingga nasi bisa dikeluarkan”.
Tuan kaya itu melotot, bergidik membayangkan ia harus bayar mahal biaya operasi untuk “memotong” lehernya. Keluarganya mencari alternatif di beberapa spesialis THT (Telinga Hidung Tenggorokan) saran mereka sama saja. “Potong Tenggorokan”.
Sudah hampir putus asa orang kaya ini, nafasnya yang tersengal membuat rasa tersiksa yang sulit dibandingkan dengan tamparan dan pukulan. Akhirnya, ia teringat dengan seorang syaikh yang telah menjadi tempat meminta nasihat. Syaikh itu juga memiliki reputasi sebagai tabib. Maka diantar keluarganya ia menghadap Syaikh itu.
Syaikh itu berkata, “Ya, aku tahu cara memperbaiki keadaanmu. Tapi kau harus melakukan tepat seperti yang aku katakana padamu. Ambilah penerbangan ke San Fransisco (Amerika Serikat) besok pagi. Di sana, naiklah taksi untuk mengantarmu ke hotel St. Francis. Carilah kamar 301. Ketika kamu sudah masuk ke ruang kamar itu, menghadaplah ke kiri. Saat itulah kau disembuhkan”.
Yakin dengan reputasi Syaikh itu, ditambah dengan ketakutannya pada operasi melubangi tenggorokan yang diusulkan dokter, orang kaya itu pun segera membeli tiket dan terbang ke San Fransisco. Sepanjang perjalanan, tentu saja ia merasa sangat tidak nyaman. Karena gumpalan nasi itu ia pun hanya bisa menelan sedikit air.
Setibanya di San Fransisco ia langsung menuju hotel dan mencari kamar nomor 301. Sejauh ini lancar pikirnya. Setidaknya hotel dan kamar yang ditunjukkan Syaikh itu memang benar benar ada.
Ia mengetuk pintu kamar, tapi rupanya pintu itu tidak tertutup dengan baik. Gerakan tangannya membuat pintu itu terbuka. Rupanya tidak terkunci. Pelan pelan ia masuk ke kamar hotel itu. Ia menghadap ke kiri. Ternyata ada seorang laki laki yang tidur dengan lelap, mendengkur sampai mulutnya terbuka. Ia penasaran dan mendekati laki laki itu.
Karena AC yang dinyalakan dengan suhu lebih rendah dan lebih dingin – atau karena Allah sejak awal telah mengatur kehendakNya- saudagar ini bersin dengan keras, hingga gumpalan nasi yang menyumpal tenggorokannya seketika keluar, dan jatuh tepat di mulut orang itu. Laki laki yang sedang tidur itu bangun dengan terkejut dan tanpa sengaja menelan nasi yang tiba tiba masuk ke mulutnya.
Kaget ia mendapati seorang laki laki yang berdiri di sampingnya. Ia berseru bertanya, “Anda Siapa”. Terkejut luar biasa si Juragan Beras itu, karena lelaki tadi menggunakan bahasa Turki. Ia terhenyak, karena menemukan kawan satu bangsanya di negeri yang jauh, San Fransisco.
Akhirnya keduanya terlibat dalam pembicaraan yang hangat dan bersahabat. Saudagar itu menceritakan kisahnya. Dan ternyata, pria itu adalah warga istambul, bahkan tinggal di daerah yang dekat dengan rumah si saudagar. Ia sedang bepergian untuk satu keperluan di Amerika. Keduanya terkagum kagum dengan apa yang telah terjadi.
Sepulangnya kembali ke Turki, si Saudagar langsung menemui sang Syaikh. Syaikh menjelaskan bahwa sesuap nasi yang akan dimakan itu adalah hak pria Turki yang menelannya di San Fransisco. Karena itu bukan haknya, ia tidak akan bisa menelannya. Maka satu satunya cara untuk menyelesaikan masalahnya adalah dengan mengantarkan nasi itu kepada yang telah ditakdirkan Allah untuk menerimanya.
Syaikh menambahi, “Ingat. Apa yang merupakan hakmu pasti akan sampai kepadamu. Dan apa yang menjadi hak orang lain, pasti akan sampai juga kepada mereka”.
Saudagar itu pulang ke rumah. Tak henti hentinya ia memikirkan peristiwa yang terjadi pada dirinya. Ia terus merenungi kata kata orang bijak itu. Keesokan paginya, ia membuka seluruh gudang berasnya dan mendistribusikan semua berasnya kepada seluruh warga Istambul.
Hikmah :
Seorang mursyid berkata, “Apa pun yang ditakdirkan untukmu, baik berupa material maupun spiritual, ia akan sampai kepadamu, meskipun harus dengan perjalanan yang jauh atau berputar putar terlebih dahulu, tetap saja, ia pasti akan sampai juga kepadamu.
Saya bertanya kepada diri saya sendiri, bagaimana dengan pencuri atau koruptor yang memakan banyak sekali “yang bukan haknya”. Lalu terjawab, tidak. Yang dimakan koruptor itu adalah haknya. Yang dimakan itu memang ditakdirkan menjadi“miliknya”. Allah mentakdirkan dan menghendaki dia bisa memakannya dengan keserakahan dan kedholimannya. Tapi itu semua harus ditebus kelak dengan hukuman yang jauh lebih berat dari pada operasi tenggorokan di dunia. Justru saudagar itu sangat beruntung, karena ia masih diselamatkan di dunia dengan bimbingan gurunya.
Wallahu A’lam.
Alhamdu lillahi robbil ‘alamin
Kertanegara, Sabtu Wage, 23 Februari 2019 M / 18 Jumadil Akhir 1440 H (Repost)
Wawan Setiawan
One Reply to “Menguasai Sesuap Nasi”