Nasab-nasab Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam

10 min read

Nasab-nasab Kanjeng Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam

Nasab-nasab Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam

 

Sayid Abdul Muthalib, Pahlawan dari Madinah.

(Kakek ke-1, Kanjeng Nabi)

NAMA & NASAB

Beliau lahir di Madinah, dari pasangan Hasyim (Kakek Nabi ke-2) dan Salma (wanita Madinah). Waktu itu, Hasyim melakukan perjalanan dagang ke Yaman, singgah di Madinah. Menikah dengan wanita (Salma) dari Bani Najjar. (Abdullah, ayah Nabi, ketika sakit dan wafat di Madinah, di rawat di keluarga ini).

Nama sebenarnya adalah ‘Amir atau (nama yang paling banyak disepakati adalah) Syaibatul Hamdi. Syaibatul Hamdi artinya, anak yang ketika lahir sudah memiliki uban, sebagai pertanda ia akan menjadi orang terpuji.

Mengapa dipanggil Abdul Muthalib (Budaknya Pak Mutahlib) ?

Makkah, pada saat itu dipimpin oleh Hasyim. Hasyim wafat dalam perjalanan ke Yaman. Maka kepemimpinan dipegang oleh adiknya, yaitu Muthallib.

Muthalib mengetahui bahwa Hasyim punya anak di Madinah (Yaitu Syaibatul Hamdi). Maka beliau menjemput putera Hasyim itu (berarti keponakannya). Berkendara unta, Syaibatul Hamdi duduk di belakang Muthalib.

Memasuki kota Makkah, berkerumun orang, takjub melihat tampan, gagah dan berserinya nya remaja/ pemuda yang di bawa Muthallib.

Mereka berkata, “Sungguh melimpah Nur di wajah Abdul Muthallib (Abdul Muthalib = budaknya muthalib)”

“Sungguh indah, bagusnya Abdul Muthalib”.

Melekatlah panggilan Abdul Muthalib (budaknya Muthalib) pada diri Syaibah (atau Syaibatul Hamdi).

 

ABDUL MUTHALIB & ISYARAT KENABIAN

Ketika masih lajang, beliau berdagang ke Yaman. Seorang laki laki Yahudi (yang mengerti kitab Zabur) berkata, “Aku melihat kerajaan dan kenabian di wajahmu. Apabila engkau pulang ke Makkah, menikahlah”.

Pada kesempatan lain, Abdul Muthalib berkata, “Tadi malam aku bermimpi seakan-akan ada sebuah pohon yang tumbuh. Ujungnya menggapai langit. Ranting-ranting terbentang ke timur dan barat. Aku tidak pernah melihat cahaya yang lebih bersinar darinya. Cahaya itu lebih besar dari cahaya matahari dua kali lipat. Aku melihat orang Arab dan alam bersujud kepadanya. Setiap saat ia bertambah besar dan bertambah cahayanya, bertambah tinggi pula dahannya.

Kemudian penafsir mimpi berkata, “Jika mimpimu ini benar, maka akan keluar dari tulang rusukmu seorang yang akan menyebar ajarannya di timur dan barat. Manusia akan tunduk, (taat dan cinta) kepadanya.”

 

SANG PAHLAWAN

Beliau adalah pemimpin, pengayom sekaligus Pahlawan bagi kaumnya, bahkan bagi seluruh muslim dunia. Pada masa kepemimpinan beliau, sumur Zam zam, yang lama hilang (tertimbun) ditemukan lagi. Beliau yang menggalinya, hingga terus ada, menjadi sumber keberkahan dan kemakmuran, sampai sekarang.

Syaikh Barzanji mengatakan, “Nur kenabian terus berpindah dari wajah wajah yang mulia. Semakin jelas cahaya (Nur) Kenabian itu di wajah (sang Kakek), Abdul Muthalib dan (Sang Ayah), Abdullah,,,”

 

Sayid Hasyim, Pemimpin Muda yang Dermawan

(Kakek ke-2, Kanjeng Nabi)

Nama sebenarnya adalah Amr. Usianya ketika wafat sekitar 25 tahun saja. Tapi ia adalah pemimpin yang cemerlang dan sangat menyayangi kaumnya.

Hasyim adalah julukan yang artinya “orang yang meremuk/ menyobek”. Sebab ia meremuk-remuk roti, menyobek daging, dalam jumlah yang sangat banyak, untuk melayani kaumnya pada saat mereka kesulitan mendapat makanan.

Dialah yang menggagas perjalanan 2 musim. Musim dingin berdagang ke Yaman, musim panas berdagang ke Syam. sebagaimana ayat al-Qur’an :

لِاِيْلٰفِ قُرَيْشٍۙ

اٖلٰفِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَاۤءِ وَالصَّيْفِۚ

“Disebabkan oleh kebiasaan orang-orang Quraisy,

(yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas (sehingga membangkitkan perekonomian masyarakat dan mendapatkan banyak keuntungan)”

Dalam perjalanan ke Yaman ini lah beliau singgah di Madinah, menikah dengan wanita bernama Salma (yang kemudian melahirkan Syaibah/ Abdul Muthallib, Kakek Nabi ke-1). Namun, beliau pun wafat di dalam perjalanan ini.

Syaikh Nawawi al- Bantani menyebutkan keunggulan beliau dengan kalimat, “Tidaklah Ia (Hasyim) melewati bebatuan, atau pun pepohnonan, kecuali mereka (bebatuan dan pepohonan itu) berbicara kepadanya, seraya berkata kepada Hasyim, “Berbahagialah wahai Hasyim, akan muncul dari punggungmu seorang Nabi yang menjadi penutup para Nabi dan Rasul”.

 

Sayid ‘Abdu Manaf, Rembulan Makkah

(Kakek ke-3, Kanjeng Nabi)

Nama aslinya adalah Mughiroh, dipanggil ‘Abdu Manaf karena posturnya tinggi dan kepribadiannya yang luhur, lengkap kelebihan fisik dan karakternya.

Jika ‘Abdullah, ayah Nabi, berjuluk misbahul Harom (Pelita-nya kota Makkah), maka ‘Abdu Manaf dipanggil oleh kaumnya dengan sebutan, Qomarul Bath-ha’ (Rembulannya Makkah).

Ia bukan hanya anak yang sangat patuh pada ayahnya (Qushoy, kakek Nabi yang ke-4), namun sangat cakap dalam memimpin masyarakat. Sampai sampai dikatakan, “Keluhuran nasab Nabi, dinisbatkan (disandarkan) karena luhurnya Abdu Manaf”.

‘Abdu Manaf adalah Kakek Nabi yang ke-3, Kakek Sayidina Utsman yang ke-4 dan kakek Imam Syafi’i yang ke9. Beliau wafat dalam perjalanan di Ghaza, Palestina.

 

Sayid Qushoy, Sang Pengembara dan Pemersatu Kaumnya

(Kakek ke-4, Kanjeng Nabi)

Dia adalah putra Kilab (Kakek ke-5, Kanjeng Nabi), yang menikah dengan seorang wanita bernama Fatimah.

Ayahnya wafat saat ia masih bayi. Kemudian dibawa ibunya ke negeri Yaman, tinggal bersama suku qudlo’ah. Itulah mengapa ia dinamakan Qushoy, artinya seorang yang pergi ke tempat yang jauh dari keluarga.

Saat remaja, oleh ibunya diperintah pulang ke Makkah, karena beliau adalah putra para pemimpin Makkah. Di kota suci itu, beliau memulai berbisnis dengan ulet, hingga sukses di bidang perdagangan.

Kemudian Qushoy menikah dengan Hubba, seorang wanita terhormat puteri Hulail (orang yang memegang kunci Ka’bah) dan berhasil pula Qushoyy di dalam kehidupan rumah tangganya.

Tidak sampai di situ, kiprahnya di dalam masyarakat, mengantarkannya untuk dipercaya sebagai pemegang kunci Rumah Suci (Ka’bah).

Qushoy  pemimpin yang cemerlang, menyatukan kaumnya dalam satu forum permusyaratan dengan mendirikan bangunan yang disebut Darun Nadwah, sebagai tempat pertemuan pembesar-pembesar Makkan yang dipimpin Qushoy sendiri. Maka orang Makkah pun memanggilnya Mujammi’ (orang yang mengumpulkan kabilah kabilah Quraisy dalam satu ikatan kuat).

Qushoy, menjaga kesucian dan kemuliaan tanah Harom (Makkah), hingga akhir hayatnya.

 

Sayid Kilab, Sang Pemburu yang Ternama

(Kakek ke-5, Kanjeng Nabi)

Beliau putra Sayid Murroh (Kakek Nabi Ke-6) dan Ibu Hindun, adalah kakek ke-5 Kanjeng Nabi dari jalur ayah sekaligus kakek ke-4 Kanjeng Nabi dari jalur ibu.

Beliau lebih dikenal dengan panggilan Kilab (artinya “anjing-anjing”), karena beliau seorang pemburu dengan menggunakan anjing-anjing yang sangat cekatan. Tidak ada buruan yang bisa lolos dari sergapan mereka.

Pemimpinan masyarakat Makkah yang bijaksana. Sesuai dengan nama aslinya yaitu Hakim (orang yang bijaksana). Sayang sekali, beliau wafat dalam usia yang masih muda. Sehingga isteri  beliau, Fatimah, membawa putera mereka (Qushoyy, kakek Nabi yang ke-4) menuju negeri Qudlo’ah, di Yaman.

Kelak Qushoyy (putera Kilab) akan kembali ke Makkah memimpin dan mempersatukan kaumnya.

 

Sayid Murroh, Leluhur 2 Sahabat.

(Kakek ke-6, Kanjeng Nabi)

Murroh artinya pahit. Tidak ada keterangan mengapa beliau bernama demikian. Jauh sebelumnya, seorang wanita paling mulia di alam semesta juga bernama “pahit”, yaitu Sayidah Maryam.

Secara bahasa, arti dari Maryam adalah Pahit. Beliau adalah wanita suci, istimewa, ahli ibadah, yang melewati kepahitan hidup yang luar biasa.

Apakah demikian dengan Sayid Murroh ? Wallahu A’lam.

Yang jelas dalam diri beliau terkumpul nasab 2 sahabat yang Allah abadikan dalam al-Qur’an, yakni Rasulullah dan Abu Bakar :

 ثاني اثنين إذ هما في الغار إذ يقول لصاحبه لا تحزن إن الله معنا

“Dia (Nabi Muhammad) salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya (Abu Bakar) : “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.”

Murroh memiliki putra Kilab (kelak menurunkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam) dan Taim (kelak menurunkan Abu Bakar Ash- Shiddiq radhiyallahu ‘anh)

Orang yang tidak mengakui seluruh sahabat Nabi hukumnya fasik (berdosa), kecuali Abu Bakar. Tidak mengakui persahabatan Nabi dan Abu Bakar hukumnya kafir, karena persahabatan keduanya, langsung Allah nyatakan dalam al-Qur’an. Dan asal usul keduanya, berkumpul pada  Sayid Murroh.

 

Sayid Ka’b, Penyeru di Hari Jum’at

(Kakek ke-7, Kanjeng Nabi)

Masyarakat hormat tunduk patuh padanya. Itulah mengapa ia bernama Ka’b yang artinya “mata kaki” atau “mata tombak”.

Seolah-olah hati manusia tawadlu’/ tunduk menghormat, di hadapan “mata kaki” nya, atau seperti pasukan yang melihat “mata tombak” Sang  Pemimpin, sehingga mereka akan diam dan bergerak dengan perintahnya, rela berkorban apa saja untuk berjuang bersamanya.

Beliau adalah orang yang pertama kali menamakan hari Jum’at (hari berkumpul). Sebelumnya dikenal dengan nama hari ‘Arubah. Pada hari itu Sayyid Ka’b mengumpulkan kaumnya, dan berkhutbah untuk mereka.

Setelah mengucap “Ammaa Ba’du”, beliau memberi nasihat kepada masyarakat untuk memuliakan Ka’bah dan Tanah Harom (Makkah). Bahkan selalu mengingatkan akan hadirnya Nabi pilihan Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Sayyid Ka’ab menyeru mereka agar beriman dan mengikuti Sang Nabi, yang akan lahir dari keturunannya.

Beliau adalah Kakek ke-7 Kanjeng Nabi, sekaligus Kakek ke-8 Sayidina Umar. Wafat, 560 tahun sebelum diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Puteranya, Sayid Murroh, kemudian meneruskan kepemimpinan beliau.

 

Sayid Luayy, Bendera Kebesaran

(Kakek ke-8, Kanjeng Nabi)

Beliau dipanggil Abul Ka’b (ayah dari Ka’b, Kakek ke-7, Kanjeng Nabi, yang sudah diceritakan kemarin). Tidak ada penjelasan rinci tentang nama beliau, kecuali dua buah makna yang menunjukkan kegagahan dan keberaniannya.

Luayy ada yang mengartikan “Sapi Jantan yang Liar” (tidak bisa ditundukkan) dan ada yang mengartikan “Bendera Kebesaran Pasukan Perang”.

Nama-nama itu memang sangat mungkin dan sangat layak beliau sandang, sebab beliau putera Sayid Ghalib (Sang Pemenang, Kakek Nabi ke-9, inysa Allah diceritakan besok).

 

Sayid Ghalib, Sang Pemenang

(kakek ke-9, Kanjeng Nabi)

Ghalib memiliki satu arti dalam dua tingkatan,

Pertama, “Sang Pemenang”, dan (kedua) lebih tinggi lagi, ia adalah “Kemenangan”.

Jika disebut Sang Pemenang, maka bisa jadi ia memenangkan 70, 90, atau 98 kali. Tapi jika disebut “Kemenangan”, maka tidak ada kekalahan meskipun sedikit saja.

Demikian Sayid Ghalib dinamakan demikan karena tidak ada satupun musuh yang bisa menang ketika menghadapinya.

 

Sayid Fihr, Tumpuan Harapan Kaumnya

(Kakek ke-10, Kanjeng Nabi)

Fihr adalah nama pemberian sang ayah. Namun, beliau lebih dikenal dengan sebutan Quraisy (nama pemberian ibunda).

Beliau dinamakan Quraisy karena dua hal :

Pertama, oleh kaumnya ia (dianggap) tokoh yang paling tinggi (paling unggul), tidak ada yang melebihinya.

Kedua, karena masyarakat selalu berkumpul kepada beliau untuk mengajukan, mengadukan keluh kesah dan hajat mereka.

Dengan hartanya, dengan kebijaksanaannya dan kedermawanannya, Quraisy menjadi tumpuan kaumnya dalam memenuhi hajat, menyelesaikan persoalan dan memberi nasihat untuk mereka dalam berbagai peliknya permasalahan..

 

Sayid Malik, Raja Arab

(Kakek ke-11, Kanjeng Nabi)

Namanya Malik, karena beliau adalah seorang pemilik kekuasaan atau pemimpin tertinggi / Raja bangsa Arab pada masanya.

Beliau pemimpin yang sangat berani, disegani, bahkan ditakuti. Sehingga beliau mendapat kun-yah (nama alias), Abul Harits (ayahnya Singa).

اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى اٰلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

 

Sayid Nadlor, Emas Merah yang Berkilau.

(Kakek ke-12, Kanjeng Nabi)

Namanya Qois, tapi lebih dikenal dengan Nadhor, artinya “emas merah”, dinamakan demikian, karena mencorong keindahan wajahnya, ia sangat tampan, atau karena kesempurnaan pribadinya, seringkali, “emas merah” dijadikan lambang “hiasan/ kepribadian yang paling indah”

Seperti Sayid ‘Abdullah, Sayid Abdu Manaf, d an leluhur Nabi lainnya yang mendapat julukan sebab ketampanan dan keindahan wajah mereka, tapi kesemuanya juga memiliki keluhuran budi pekerti dan kepemimpinan, pengayoman kepada kaumnya.

Preatasi para beliau dalam memimpin, tercatat dengan tinta emas, yang berkilau warnanya melewati zaman demi zaman, sampai pada masa Kanjeng Nabi.

Asy’ats bin Qois bercerita : kami datang kepada Rasul ketika ada Utusan dari Kindah. Ia (utusan itu bertanya), “Wahai Rasulullah, apakah tuan berasal dari golongan (keluarga) kami ?

Rasulullah menjawab, “Tidak. Aku adalah keturunan Nadlor bin Kinanah (bukan keturunan Kindah) ?

Alangkah bangganya Sayid Nadlor bin Kinanah.

اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى اٰلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

 

Sayid Kinanah, Pelindung Kaumnya

(Kakek ke-13, Kanjeng Nabi)

Beliau adalah seorang yang rupawan dan tinggi derajatnya. Semua orang Arab “menuju” kepadanya karena ilmu dan keutamaannya.

Namanya Kinanah, maknanya sama dengan “Ja’bah” (tempat anak panah). Karena ia selalu menutupi, mengayomi dan melindungi kaumnya, seperti tempat anak panah yang menutupi, menyatukan, melindungi anak panah sehingga bisa menjadi kekuatan dan kemenangan.

Mengikuti sifat Nabi Ibrahim ‘Alaihis salam, beliau tidak pernah mau makan sendirian. Bahkan jika tidak menemukan seorang pun untuk makan bersama, maka ia makan satu suapan dan membuang satu suapan berikutnya.

Ia sering berkata, “Telah dekat datangnya Nabi dari Makkah, yang akan dipanggil dengan sebuatan Ahmad (orang yang terpuji), ia mengajak kepada Allah, kepada kebaikan yang sempurna, dan akhlak yang mulia, maka ikutilah dia, niscaya akan bertambah kemuliaan kalian. Apa yang dia bawa ada kebenaran, maka jangalah kalian semua mendustakannya”.

اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى اٰلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

 

Sayid Khuzaimah, Rangkaian Cahaya Kemuliaan

(Kakek ke-14, Kanjeng Nabi)

Khuzaimah berasal dari kata Khozmah, artinya mengikat sesuatu sehingga menjadi untaian/ rangkaian yang indah dan pantas.

Mengapa demikian?

Dalam diri Khuzaimah ada Nur Kanjeng Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang terus berpindah, sejak Nabi Adam, berpindah kepada puteranya, yakni Nabi Syits dan seterusnya sampai Sayid Khuzaimah (Kakek ke-14 Kanjeng Nabi ini).

Selain itu, Sayid Khuzaimah juga mengumpulkan keagungan/ ketinggian ruhani (yang diibaratkan cahaya ruhaniyah), bukan hanya dari ayahnya, tapi dari kakek kakeknya, terkumpul dalam diri beliau.

Sehingga terangkailah, Nur/ sifat sifat ruhani yang agung dari ayah ayahnya, dan Nur Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, dalam diri Khuzaimah, menjadikan beliau sosok yang sangat istimewa.

Ibnu ‘Abbas berkata, “Beliau (Sayid Khuzaimah) wafat di dalam millah (agama) yang hanif (lurus), yakni agama Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salaam.

اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى اٰلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

 

Sayid Mudrikah, Mencapai Semua Maqom Leluhurnya

(Kakek ke-15 , Kanjeng Nabi)

Namanya ‘Amr, dipanggil dengan Abu Hudzail, tapi lebih terkenal dengan sebutan Mudrikah, artinya orang yang menemukan/ mencapai semua maqom/ kedudukan tinggi dari ayah ayahnya.

Huruf “H” dibagian belakang namanya menunjukkan “mubalaghoh”, yang artinya benar benar. Jadi beliau benar benar mencapai, semua keagungan dari para leluhurnya.

Nur Muhammad Shallallahu ‘Alaih iWasallam, sangat terlihat dengan jelas pada diri Sayid Mudrikah.

اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى اٰلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

 

Sayid Ilyas, Pembesar Kaumnya, Sayid Kabilahnya

(kakek ke-16, Kanjeng Nabi)

Namanya Ilyas, atau Alyas, artinya putus harapan. Karena ayahnya telah melewati usia produktif, namun belum juga berputra. Setelah berusia tua dan hampir putus asa, Allah menganugerahinya putera.

Maka diberilah ia nama Ilyas, Putus Harapan, tapi sebenarnya dialah harapan dan kebanggaan bagi keluarga maupun kaumnya.

Ia tumbuh menjadi orang yang tampan dan terpandang di tengah bangsa Arab. Mereka memuliakan Ilyas seperti memuliakan “Manusia Bijaksana”, sampai-sampai beliau dipanggil dengan sebutan “Pembesar Kaumnya” dan “Sayid (Pemimpin) Kabilahnya”.

Tidak pernah diambil suatu keputusan dalam sebuah urusan atau permasalahan, kecuali akan menyertakan Ilyas.

Selain itu, banyak sekali keistimewaan Ilyas. Terutama kedermawanannya. Ia adalah orang pertama tama menghadiahkan unta yang sangat besar, untuk dikurbankan dan dibagikan dagingnya, di pelataran tanah haram (Ka’bah).

Tidak heran, saking istimewanya beliau, dari punggung Ilyas sering kali terdengar suara Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berdzikir “Allah Allah” dan bertalbiyah (Labbaykalllahumma labbaik = hamba siap menjalankan perintah Tuan, wahai Allah)

Rasulullah menyebut Ilyas dalam sebuah hadits, beliau bersabda, “Janganlah kalian mencela Ilyas, ia adalah seorang mu’min (seorang yang beriman kepada Allah ta’ala)”.

اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى اٰلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

 

Sayid Mudlor, Memikat Hati Manusia

(kakek ke-17, Kanjeng Nabi)

Nama sebenarnya ‘Amr, seringkali dipanggil Abu Ilyas (kakek Nabi ke-16). Tapi nama yang paling terkenal adalan panggilannya, yaitu Mudlor.

Ia dinamakan dengan Mudlor karena dua hal. Pertama, ia menyukai susu yang rasanya asam (kecut). Kedua karena ia memikat hati siapa saja yang melihat kepadanya dan bergaul dengannya.

Siapa saja yang bersamanya akan tertarik, karena selain ia tampan, berkulit putih, keturunan orang mulia, berakhlak luhur, juga, ia memiliki suara yang merdu.

Orang Arab sangat suka bersyair, dengan suara yang indah, syair itu menjadi semakin menyihir hati pendengarnya. Para penggembala dan unta unta mereka pun senang, karena ia biasa menggiring unta dengan nyanyian-nyanyian.

Mudlor memiliki kecerdasan dan firasat yang tajam yang melahirkan kalimat kalimat yang bijaksana dan dalam maknanya. Diantaranya, ia berkata :

“Siapa menamam keburukan, ia akan memanen penyesalan”.

“Sebaik baiknya kebaikan adalah yang dilakukan segera”.

“Bawalah dirimu kepada hal yang tidak kamu sukai” (Maksudnya melaksanakan kewajiban, biasanya melaksanakan kewajiban itu berat dan tidak disukai oleh diri sendiri). “dan berpalinglah dari seretan nafsu yang merusak”.

“Tidak ada, antara kebaikan dan keburukan itu, kecuali kesabaran”

اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى اٰلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

 

Sayid Nizar, yang Tidak ada Bandingannya

(kakek ke-18, Kanjeng Nabi)

Dinamakan Nizar artinya sedikit, kecil, satu satunya dan tidak ada bandingannya.

Karena pertama, ketika lahir, sang ayah melihat ada Nur di antara kedua matanya. Sang ayah sangat bahagia sehingga menggelar syukuran dengan sembelihan dan hidangan yang sangat besar, seraya berkata, “Ini adalah “kecil” dihadapan kebesaran bayi yang baru saja dilahirkan”).

Kedua, ada yang mengatakan posturnya kurus (kecil dibandingkan umumnya orang Arab), tapi semua sepakat bahwa kemudian Nizar tumbuh menjadi orang yang tiada bandingannya.

Ia adalah sosok yang paling tampan dan paling cerdas pada masanya. Ia orang yang pertama menulis sebuah kitab dalam bahasa Arab. Belum ada di masa itu yang mampu menulis kitab berbahasa Arab dengan fasih.

Sungguh beruntung sekali, Imam Ahmad bin Hambal, pendiri madzhab Hambali, juga bertemu nasabnya dengan Kanjeng Nabi pada Sayid Nizar ini. Sayid Nizar wafat dan dimakamkan di Dzatul Jaisy dekat kota Madinah.

اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى اٰلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

 

Sayid Ma’ad, Pemenang Peperangan

(kakek ke-19, Kanjeng Nabi)

Namanya Ma’ad, arti asalnya adalah kuat. Sering dipanggil Abu Nizar (ayahnya Nizar/ kakek Nabi ke-18). Ia adalah ujung tombak dalam peperangan. Tidak pernah ia pergi berperang kecuali kembali dalam kemenangan.

Ada yang mengatakan, beliau adalah Nabi Armiya. Sebagian ahli mengatakan bukan. Tetapi, ketika Bukhtanashor (Nebukadnezar) berkuasa, Allah memerintahkan kepada Nabi Armiya ‘Alaihis Salam (salah satu Nabi Bani Israil) agar membawa Ma’ad bin ‘Adnan bersamanya.

Allah berfirman kepada Nabi Armiya, “Sesungguhnya Aku, akan mengeluarkan dari shulbi (tulang rusuknya), seorang Nabi, yang menjadi penutup para Rasul”.

Maka, Nabi Armiya melakukan perintah Allah ta’ala. Membawa serta Ma’ad dalam pengasuhannya. Setelah kematian Bukhtanashor, Ma’ad kembali ke Hijaz (Makkah).

اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى اٰلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

 

Sayid ‘Adnan, Menegakkan Tanah Haram

(kakek ke-20, Kanjeng Nabi)

Sayid ‘Adnan hidup pada zaman Nabi Musa ‘Alaihis Salam. ‘Adnan artinya orang yang mendiami, atau menegakkan suatu negeri. Karena beliau adalah orang pertama yang memberi tanda (batas-batas) Tanah Haram, dan sekaligus orang pertama yang memberi kelambu pada Ka’bah.

Dikatakan, seluruh mata jin dan manusia tertuju kepadanya. Baik karena mencintai dan mematuhi beliau, sekaligus (ada pula) yang ingin membunuh beliau. Mereka berkata, “Jikalau kita membiarkan lelaki ini, akan keluar dari tulang rusuknya, orang yang akan memimpin manusia”

Nasab Kanjeng Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sampai dengan ‘Adnan ini disepakati para ulama, tidak ada pertentangan. Para ahli ilmu nasab menyatakan secara yakin, tanpa keraguan, bahwa ‘Adnan adalah keturunan adz- Dzabiih (yang disembelih), yakni Nabi ‘Isma’il ‘Alaihis Salam.

اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى اٰلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

 

Rujukan :

~ Madarijush Shu’ud (Syarah Barzanji), Syaikh Nawawi Banten

~ Qoulul Munji (Syarah Barzanji), Syaikh Muhammad bin Ahmad Alisy al-Maliki.

~ Syarah Maulid Nabi

 

Wawan St

MQNaswa, Selasa Pon, 041022/ 070344

 

Mengenai Sanad yang Terputus dan Ijazah Dzikir Lewat Mimpi baca di : https://www.mqnaswa.id/sanad-yang-terputus/

Baca juga : https://islam.nu.or.id/sirah-nabawiyah/4-kejadian-luar-biasa-saat-kelahiran-nabi-muhammad-saw-HiP9e

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *