Pengadilan Untuk Lisan Zaman Now

2 min read

Kontekstualisasi Bahaya Lisan di Media Sosial

Bismillahir rahmaanir rahiim

(Rasul sudah memprediksi Facebook?)

Apakah Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sudah memprediksi akan munculnya facebook atau media sosial semacamnya?

Bisa jadi.

Coba perhatikan Hadits Riwayat Abu Nu’aim yang dinukil dalam Kitab Nashoihul Ibad.

“Diriwayatkan , sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : Lisan itu diadzab/ disiksa dengan siksaan yang lebih berat, yang tidak ditimpakan kepada seluruh anggota tubuh selainnya.

Maka lisan berkata, “Ya Robbi, mengapa engkau mengadzabku dengan adzab yang lebih berat, yang tidak Engkau timpakan pada anggota tubuh lainnya?”

Maka dikatakan kepadanya, “Dari dirimu keluar kata kata yang sampai di ujung timur dan barat, lalu akibat dari kata katamu itu terjadilah pertumpahan darah, terjadi penjarahan harta yang tidak hak, terjadi pelecehan kehormatan yang diharamkan. Demi kemuliaanKu, Aku benar benar akan mengadzabmu dengan adzab yang tidak Aku timpakan pada anggota tubuhmu yang lainnya”.

Perhatikanlah hadits di atas. Cocok sekali dengan kegaiatan wajib manusia di zaman milenial ini. Dari anak anak sampai dewasa (bahkan sudah kakek nenek) pun sibuk bermedsos. Setiap status yang dibuat menembus bukan hanya dinding rumah, tapi dinding negara hingga bisikan kita kepada Tuhan yang ditulis di akun facebook di amini oleh teman kita di Belanda, detik itu juga.

Sayangnya media sosial adalah terbanyaknya menampung mulut mulut yang menyebarkan berita kebohongan, fitnah, hoax, ujaran kebencian dan sebagainya. Sehingga terjadi merendahkan kehormatan orang lain saling ejek dan saling hina, terbanyaknya pastilah di media sosial. Persis seperti hadits di atas. Maka tidak heran jika lisan di adzab dengan adzab yang paling berat.

Tapi? Bukankah ketika ngetik status tidak pake mulut? Tapi pake jari ? Kok dalam hadits di atas, mulut yang diadzab, bukan jari?

Ya itulah lisan. Lisan bukan hanya mulut saja tapi meliputi gerak tubuh, lirikan mata, lambaian tangan, atau suara mulut, atau gerakan jempol mengetik status, yang menjadi sarana berkomunikasi dengan orang lain dan bisa dimengerti oleh orang lain.

Jadi mata pun bisa jadi “lisan”. Jempol bisa jadi “lisan”. Sebab mereka pun bisa mengeluarkan bahasa yang dimengerti oleh sesama manusia. Mata melotot bisa berbeda beda maknanya. Ada marah ada nantang gelut ada yang kebelet, manusia bisa memahami “terjemah dari lisan mata ini”. Jempol ke atas dan ke bawah pun berbeda maknanya. Dan sebagainya dari setiap gerak tubuh. Bahkan, seringkali lisan seperti ini lebih mudah dimengerti daripada lisan yang ada di mulut?

Sebuah maqolah mengatakan, “Lisanul hal afshohu min lisaanil maqol”. “Lisan yang pake tingkah laku” lebih fasih/jelas dari pada “lisan yang pake ucapan/ lidah”. Seorang yang memberi contoh langsung, lebih mudah dipahami dari pada menasehati dengan teori.  Dalam hal shalat Rasul pun tidak diawali dengan teori. Beliau berkata, “Shalatlah seperti saya shalat”. Artinya ikuti saja gerak gerik saya ketika shalat. Inilah lisanul hal.

Kadang lirikan yang menghina lebih menyinggung perasaan dari pada ucapan. Kadang mulut yang meludah menyebabkan peperangan antar kampung di kalangan pemuda. Padahal tidak ada kata kata yang terucap. Cukup acungkan jempol terbalik atau jari tengah saja pada segerombolan pemuda, dijamin tawuran rame.

Jadi postingan status atau kiriman video yang dikirim oleh jari jemari kita adalah “suara dari lisan kita”. Status adalah “ucapan” kita meski tidak pakai lidah dan suara. Ia menggema ke penjuru timur dan barat. Jika yang dibagikan adalah kedustaan, fitnah, hinaan, caci maki, maka itu tidak hanya akan dikonsumsi oleh orang sekampung, tapi jutaan atau ratusan juta orang yang akan turut memakannya. Berapa besar dosanya? Padahal, ghibah satu kali saja sama dengan memakan bangkai manusia.

Na’udzu billaah.

Lalu apakah yang diadzab mulut kita saja? Sebagaimana teks hadits di atas.

Tentu saja diri kita semuanya bukan hanya lidah dan mulut kita.

Bukankah hadits di atas hanya mengadili mulut saja?

Jadi maksud hadits di atas adalah, kita itu diadzab yang paling berat dan paling banyaknya disebabkan urusan “lisan”. (Sekali lagi maksudnya itu seluruh tubuh kita, yang kita gunakan untuk berinteraksi dengan orang lain). Kalau zaman Now, dalam konteks medsos, ya Lisan yang menyebarkan berita hoax, fitnah, ujaran kebencian, ghibah dan sebagainya yang tidak bermanfaat.  Itulah “penyumbang adzab” terbesar bagi kita.

Dalam ajaran Guru, di dalam jiwa kita itu terdapat banyak lisan. Cobalah mulut kamu diam. Lalu lihatlah sesuatu, misalnya orang yang tampak kumuh, maka muncul kata-kata dalam dirimu (bukan dari mulutmu), misal “betapa jeleknya orang ini!”. Melihat kalung di toko Mas, muncul kata kata dalam jiwa kita, “Seandainya suamiku kaya dan membelikan aku kalung ini”.

Inilah lisan jiwa. Semakin banyak ia berbicara, Semakin banyak urusannya. Semakin banyaklah hisab/ perhitungannya. Maka diamkanlah “seluruh lisanmu”. Jagalah mereka semua dari hal hal yang tidak bermanfaat. Syukur kalo “semua lisanmu” itu melahirkan “kedamaian dan kasih sayang”.

Syaikh Irfa’i memberikan penjelasan yang sangat baik mengenai lisan dalam diri manusia, bicara dan diam di https://www.mqnaswa.id/makna-diam-dalam-penjelasan-kh-irfai-nahrawi-qs/. Silakan merujuk kesana.

Wallahu A’lam

Alhamdulillahi robbil ‘aalamiin

Kertanegara, Rabu Pon, 23 Januari 2019 M/ 17 Jumadil Awwal 1440 H

Repost

Wawan Setiawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *