Ayah dan Anak

2 min read

ayah dan anak
Ayah dan Anak (Bag. 1)
Bismillahirrahmanirrahim
Kisah ayah dan anak muncul dalam alQur’an surat Hud/11 : 42. Mengisahkan Nabi Nuh dan puteranya yang bernama Kan’an. (Guru kami berpendapat, Kan’an, bukan putra kandung Nabi Nuh. Tapi putera isterinya dari orang lain).
Tapi – intinya – dari kisah ini, kita faham, bahwa Nabi Nuh (sebagai ayah, kandung/ angkat) mencintai anaknya dan menginginkan keselamatan untuknya. Tapi kenyataan berbeda dengan harapannya. Sang Anak tidak mencintai ayahnya !
Perhatikan ayatnya :
وَهِيَ تَجْرِيْ بِهِمْ
Bahtera/ Kapal Nuh itu, itu berlayar membawa mereka (umat Nabi Nuh yang selamat).
Nabi Nuh berdakwah, sekitar 900 an tahun, dan umatnya sekitar 80 orang saja. Sungguh perjuangan dakwah yang sangat berat. Sampai sampai Allah menurunkan adzab berupa banjir yang dahsyat. Sehingga,
فِيْ مَوْجٍ كَالْجِبَالِۗ
(Kapal itu berjalan) di dalam gelombang laksana gunung-gunung.
Perhatikanlah !
“Kapal itu berjalan DI DALAM gelombang yang laksana gunung”. Menggambarkan gelombang tinggi yang menghempas hempaskan adzab Allah ta’ala, sampai sampai, digambarkan “seolah kapal itu di bawah, dan air yang di atasnya”
DI SINI POINNYA ! (Dalam keadaan seperti itu),
وَنَادٰى نُوْحُ ِۨابْنَهٗ
Nuh memanggil anaknya (Kan’an), (dengan panggilan yang penuh kelembutan dan harapan), tapi sayangnya,
وَكَانَ فِيْ مَعْزِلٍ
“Dia (anak itu) berada di tempat (yang jauh) terpencil”.
Maksudnya, Kan’an itu sejak lama, memisahkan diri dari ayahnya. Ia menjauhkan diri dari pendidikan Nabi Nuh. Ia memisahkan diri dari Tarbiyah, pengasuhan ayahnya sendiri. Ia lebih senang berada dalam pergaulan yang buruk. Dan itu telah berlangsung lama.
Tapi, meskipun begitu, Nabi Nuh (sebagai ayah, sekaligus guru) tetap memanggil dengan penuh rasa cinta, perhatikan panggilannya :
يّٰبُنَيَّ ارْكَبْ مَّعَنَا وَلَا تَكُنْ مَّعَ الْكٰفِرِيْنَ
“Wahai ANAKKU TERKASIH, naiklah (ke bahtera) bersama kami dan janganlah engkau bersama orang-orang kafir”.
Nabi Nuh memanggil dengan tidak menggunakan kata “Ibnii” (Wahai anakku), tapi “Yaa Bunayya” (Wahai anak yang aku kasihi), mungkin ini adalah kesempatan terakhirku memanggilmu untuk bersamaku. Naiklah bersamaku, jangan kamu bersama orang kafir.
(yakni orang yang terutup hatinya dari iman. Tertutup akalnya dari fikiran yang sehat dan tertutup jiwanya dari kebaikan kebaikan).”
Meskipun Nuh memanggil dengan panggilan yang menunjukkan kasih sayang, tapi sungguh aneh, dan tidak bisa diterima akal sama sekali !
Anaknya (Kan’an) menjawab :
قَالَ سَاٰوِيْٓ اِلٰى جَبَلٍ يَّعْصِمُنِيْ مِنَ الْمَاۤءِ
“(Aku tidak mau ikut denganmu), aku akan mencari perlindungan kepada gunung, (gunung itu) akan menjagaku dari air bah (banjir) ini”.
Renungkanlah ! jelas sekali :
~ air hujan turun deras dari langit, bahkan memancar air dari dalam bumi, banjir besar, dan ia (Kan’an) dalam keadaan terancam datangnya air bah
~ Nabi Nuh berada di atas perahu,
~ Nabi Nuh adalah ayahnya, yang ingin menyelamatkannya,, memanggilnya dengan kasih sayang, mengajak ia naik perahu.
Apakah masuk akal, dalam keadaan seperti itu, seorang anak menolak ajakan ayahnya ??
Rupanya benar benar hatinya telah ditutup oleh Allah ta’ala. Mungkin seperti ini yang dimaksud dalam firmanNya :
خَتَمَ اللّٰهُ عَلٰى قُلُوْبِهِمْ وَعَلٰى سَمْعِهِمْ ۗ وَعَلٰٓى اَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ وَّلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ
“Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka. Pada penglihatan mereka juga ada penutup, (sehingga tidak bisa melihat jalan keselamatan, tidak mau mendengar ajakan kasih sayang, tidak mendapat cahaya hidayah Allah) dan bagi mereka azab yang sangat berat” QS. alBaqarah/2 : 7
Ironis. Tidak masuk akal pikiran. Ia lebih percaya kepada gunung daripada ayahnya sendiri yang jelas berada di atas perahu dan mengulurkan tangan kepadanya.
Apakah Nuh menyerah ? tidak, ia adalah Nabi (sang Maha Guru), ia adalah ayah, selagi masih ada kesempatan ia tetap berusaha.
قَالَ لَا عَاصِمَ الْيَوْمَ مِنْ اَمْرِ اللّٰهِ اِلَّا مَنْ رَّحِمَ ۚوَحَالَ بَيْنَهُمَا الْمَوْجُ فَكَانَ مِنَ الْمُغْرَقِيْنَ
(Nuh) berkata (lagi), “Wahai anakku (sadarlah) tidak ada Yang bisa menyelamatkan dari keputusan Allah pada hari ini, kecuali siapa yang dirahmati oleh-Nya.”
Sayang sekali, sang anak tetap pada pendiriannya, bahkan Allah pun tidak menghendakinya, akhirnya
ۚوَحَالَ بَيْنَهُمَا الْمَوْجُ فَكَانَ مِنَ الْمُغْرَقِيْنَ
“(Nuh dan Kan’an terpisah oleh) Gelombang menjadi penghalang antara keduanya, maka jadilah (anak itu) termasuk orang-orang yang ditenggelamkan”
Apakah Nuh menyerah ??
Tidak !
Setelah adzab Allah mereda, setelah kapal berlabuh. Nuh menggunakan “usaha terakhirnya”. DO’A, meminta langsung kepada Allah.
Perhatikanlah ! Banjir bandang setinggi gunung, seluruh daratan tertutup air. Adakah mungkin si anak selamat ? Mustahil, mustahil dan mustahil.
Tapi, kasih sayang seorang ayah mendorongnya menadahkan tangan, merintih, bermunajat :
وَنَادٰى نُوْحٌ رَّبَّهٗ فَقَالَ رَبِّ اِنَّ ابْنِيْ مِنْ اَهْلِيْۚ وَاِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ وَاَنْتَ اَحْكَمُ الْحٰكِمِيْنَ
“Nuh, (berdo’a) memohon (kepada Allah) Tuhannya, yang maha mencipta dan memelihara, seraya berkata, “Ya Allah, Tuhanku, sesungguhnya anakku adalah keluargaku. (Tuan telah berjanji, akan menyelamatkan keluargaku, dari adzab ini) dan sesungguhnya janji-Tuan pasti benar. Tuan adalah hakim yang paling adil.”
Apa jawaban dan keputusan Allah ?
قَالَ يٰنُوْحُ اِنَّهٗ لَيْسَ مِنْ اَهْلِكَ ۚ
“(Allah) berfirman, “Wahai Nuh, sesungguhnya dia (Kan’an itu) bukanlah termasuk keluargamu !
اِنَّهٗ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ
“Sesungguhnya dia (Kan’an), “amalun ghairu shalih” perbuatannya sungguh tidak baik (yakni menentang ayahnya hingga menjadi kafir), atau “Ia bukan keluargamu, karena ia adalah anak dari “perbuatan buruk isterimu dengan orang lain”.
Inilah kisah pertama Ayah dan Anak yang dimuat dalam QS. Hud/11 :41-48.
Sekarang pun terus terjadi banjir. “Banjir pergaulan bebas”, “Banjir media online yang buruk dan meracuni”, “Banjir gaya hidup”, dan sebagainya, yang menyebabkan orang tua tidak bisa lagi mengarahkan anak.
Anak menjadi terpencil (dalam lingkungan yang akan menjerumuskan). Jauh dari pendidikan ruhani. Tertutup dari cahaya agama yang akan menerangi hati, akal dan jiwanya.
Jangan sampai ia tenggelam, Pasti kita sangat sangat menyesalinya.
Semoga Allah menjaga kita, keluarga kita, anak turun kita, selamat di dunia bersama keluarga, selamat di akhirat bersama para guru, ulama sholihiin, bersama Sayidina Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Amiin amiin,,,
MQ. Naswa – Nasy’atul Wardiyah
Wawan St.
Mengenai keluarga sebelum datangnya Islam baca di : https://www.mqnaswa.id/keluarga-sebelum-datangnya-islam/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *